Rabu, 25 April 2018

Semangat Menuntut Ilmu Yang Selalu Bersinar




 
Islam telah mengajarkan kita untuk selalu menjadi pencari ilmu yang gigih selama kita masih hidup. Tidak hanya sekedar mencari pengetahuan agama semata-mata, tetapi juga mencari ilmu-ilmu duniawi yang menjadi kebutuhan asasi bagi setiap insan.

Tidak ada agama lain yang mendudukkan ilmu pengetahuan sedemikian pentingnya seperti agama Islam. Islam bahkan menganggap bahwa yang tidak berupaya mencari ilmu maka ia telah berbuat dosa, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam:

“Mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (Hadist Al-Tirmizi)
Kewajiban ini tidak terbatas pada jenis kelamin atau kelas sosial tertentu saja, tetapi telah menjadi kewajiban bagi setiap perempuan dan laki-laki, muda dan tua, miskin dan kaya. Allah telah mengangkat derajat dan status mereka yang memiliki pengetahuan, dan telah memuji mereka di banyak tempat di dalam kitab suci Al-Quran. 

Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman:
“Allah meningkatkan posisi orang-orang yang beriman dan mereka yang telah diberi pengetahuan beberapa derajat.” (Quran 58:11)

Ada perbedaan besar antara seorang Muslim yang memiliki pengetahuan dan orang yang tidak. Nabi 
menggambarkan hal ini dalam sabdanya:

“Keunggulan seorang ahli agama di bandingkan orang mukmin lainnya adalah seperti keunggulan bulan purnama di atas bintang-bintang lainnya” (Hadist riwayat Abu Dawud).

Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam pun pernah pula bersabda:

“Keunggulan seorang ahli agama di bandingkan orang mukmin lainnya adalah seperti keunggulan diriku di atas orang paling rendah dari kalian” (Hadis riwayat Al-Tirmidzi)

Mengapa Allah memberikan posisi yang tinggi seperti itu kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan di bandingkan kepada mereka yang tidak? Karena sesungguhnya para pembawa risalah (para nabi dan rasul) bertugas untuk menyampaikan kepada setiap manusia agar menyembah Allah dengan benar, lakukanlah perbuatan yang menyenangkan Allah dan hindari apa yang membuat-Nya murka.

Jika seorang muslim tidak berilmu, maka ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan melakukan hal-hal yang menentang ajaran Diinullaah, yang menyebabkannya mendapatkan kemurkaan Allah.
Ilmu apakah yang harus dipelajari sebagai seorang Muslim?
Jadi muncul pertanyaan, apakah itu kewajiban untuk mencari pengetahuan tentang agama, dan bidang pengetahuan di dalam agama begitu luas, jenis pengetahuan apa yang harus dicari? Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ilmuwan besar Islam, menjawab bahwa wajib bagi setiap individu Muslim untuk mencari ilmu pengetahuan yang membuatnya dapat menjalankan agamanya dengan benar. Berikut adalah di antaranya:
1) Aqidah. Ini adalah aspek yang paling penting dari Islam yang harus dipelajari seorang Muslim, karena melalui aspek inilah seseorang benar-benar menjadi Muslim. Tujuh belas tahun pertama dari semenjak wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam maka materi utamanya ditujukan untuk mengoreksi keyakinan dan aqidah tentang Allah. Menekankan bahwa tidak ada ibadah yang ditujukan kepada siapa pun kecuali Diri-Nya.

2) Pengetahuan tentang aspek-aspek ibadah. Seperti yang kita tahu, Allah telah memerintahkan umat Islam untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu. Banyak dari ibadah ini bersifat wajib dan, pada gilirannya, seseorang harus tahu bagaimana tata cara melakukannya. Misalnya, Allah telah mewajibkan kita untuk sholat minimal lima kali perhari, jadi telah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengetahui bagaimana mendirikan sholat dengan benar. Juga, sebagai salah satu syarat dalam sholat adalah untuk menyucikan diri (berwudhu), sehingga seseorang harus tahu bagaimana cara melakukannya.

3) Mengetahui apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan rahmat Allah, Dia telah mendorong kita untuk menikmati banyak karunia dan rezeki yang telah Dia ciptakan. Umat Islam pada hakikatnya harus yakin bahwa segala aspek dalam kehidupan mereka, apakah itu ideologi, sosial-politik, ekonomi, bisnis-perdagangan, hukum, keadilan, syariah, sosial budaya, atau bidang lainnya, telah dibuatkan pedoman yang berasal dari Al Quran dan Hadits.

4) Yang terakhir namun tak kalah pentingnya, kita juga harus belajar bagaimana cara memurnikan hati dan perbuatan kita dari sifat dan sikap yang tidak baik. Seorang Muslim harus tahu bagaimana cara memurnikan hatinya sehingga hidupnya semata-mata hanya untuk mencintai Allah saja. Sebagai Muslim kita juga harus belajar tata cara hidup Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam yang mulia yang diajarkan kepada kita, dan mencoba untuk meneladanisuri tauladan dan peri kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh tauladan yang utama.

Oleh Mr. Darmawan
Diambil dari situs Pesantren Darul Quran, https://daqu.sch.id/2018/01/semangat-yang-tak-kunjung-padam-untuk-menuntut-ilmu/

Masa Muda, Masa Berkarya




Usia muda adalah masa ketika idealisme berpadu dengan segala kelapangan. Masa ketika potensi fisik dan pikiran mencapai pucak kematangannya. Jadi, tidak mengherankan jika banyak tokoh-tokoh sejarah berhasil membuat beragam karya spektakuler saat mereka masih muda.

Ada banyak contohnya. Salah satu contoh terbaik adalah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Beliau merupakan sebaik-baik teladan. Masa mudanya tidak berlalu dengan sia-sia. Ketika muda diberi gelar al-Amin (orang yang jujur) oleh bangsa Arab. Rasullah pun terkenal memiliki akhlak mulia, rajin belajar dan bekerja, serta tangguh pantang mengeluh.

Terlahir sebagai anak yatim, kemudian saat kanak-kanak ditinggal wafat oleh ibu dan kakeknya, sama sekali tidak membuat Rasulullah putus asa menjalani hidup. Walau tinggal bersama pamannya, beliau bukanlah keponakan yang merepotkan. Pantang baginya menjadi beban. Rasulullah dengan suka rela membantu sang paman bekerja menjemput rezeki yang halal, yakni dengan cara menggembala domba dan berdagang.

Ketika menginjak usia 24 tahun, Rasulullah mulai membawa barang dagangan milik saudagar kaya, Siti Khadijah. Jika seseorang membawa barang dagangannya Siti Khadijah, berarti orang tersebut teruji akhlaknya. Karena Siti Khadijah tidak memberikan barang dagangannya kepada sembarang orang. Saat itu, Rasulullah dipercaya membawa barang dagangannya ke Syam. Itulah kali pertama, beliau melakukan perjalanan ke luar negeri.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam tidak sendirian pergi ke Syam. Siti Khadijah meminta pegawai laki-lakinya yang bernama Maisaroh, untuk turut serta dengan Rasulullah. Maisaroh pun menemukan banyak sekali kemuliaan akhlak Rasulullah.

Kesuksesan Rasulullah sebagai Pedagang
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam berjualan dengan penuh semangat. Beliau menawarkan barang dagangan kepada calon pembeli. Jadi tidak menunggu, tapi aktif menawarkan. Rasulullah juga tidak menetapkan harga jual. Rasulullah menyampaikan modalnya sekian, silakan pembeli mau memberi untung berapa kepadanya. Beliau juga memberikan service excelent kepada para pembeli. Tidak lama, barang dagangan pun habis dan untungnya besar.
Setelah selesai berdagang di Syam, Rasulullah tidak langsung pulang ke Makkah. Tetapi membeli barang-barang di Syam yang sekiranya diperlukan oleh orang-orang Makkah, kemudian menjualnya kembali di Makkah. Barang jualannya laku keras setibanya di Makkah, dan untung dari penjualannya jadi berkali-kali lipat.
Cara berdagang yang dilakukan oleh Rasulullah saat itu, belum pernah dilakukan oleh pedagang lain. Senang tidak Khadijah? Tentu senang. Kemuliaan akhlak dan kecerdasan Rasulullah itulah yang membuat Khadijah mantap menjadikannya sebagai suami.

Muhammad al-Fatih, Penakluk Konstantinopel
Muhammad al-Fatih dilahirkan pada 27 Rajab 835 H/30 Maret 1432 M di Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia adalah putra dari Sultan Murad II, raja keenam Daulah Utsmaniyah.
Sejak kecil, al-Fatih dididik oleh orangtuanya mengenai ketauhidan kepada Allah Subhana Wa Ta’ala. Ia diajarkan tentang syariat dan sejarah peradaban Islam. Bahkan, al-Fatih juga dididik untuk menjadi seseorang seperti yang Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sabdakan.

Apa sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam itu? “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR. Ahmad bin Hanbal al-Musnad 4/335)
Sudah banyak pemuda dan pemimpin dari Umat Islam terdahulu yang berusaha mewujudkan sabda Rasulullah itu. Namun, belum ada yang dapat menaklukkannya. Maka, Muhammad al-Fatih inilah yang diharapkan kedua orangtuanya untuk meneruskan perjuangan, untuk mewujudkan sabda Rasulullah. Bahkan, salah seorang guru yang menempa beliau ialah Syeikh Syamsuddin, yang ternyata masih keturunan dari Abu Bakar as-Sidiq.

Muhammad al-Fatih menjadi sultan (raja) saat berusia 19 tahun, menggantikan ayahnya. Ia pun mampu menaklukkan Konstantinopel pada Kamis, 26 rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M, bersama tentaranya saat berusia 21 tahun. Usia yang sangat muda untuk menjadi pemimpin kerajaan, sekaligus pemimpin pasukan perang.

Keberhasilannya itu menyebabkan banyak kawan dan lawan kagum kepada dirinya. Caranya memimpin, akhlaknya yang mulia, serta taktik atau strategi perangnya yang sangat tidak masuk akal, serta kekuatan tauhid para tentaranya yang luar biasa. Setelah ditaklukan, ia pun mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambul (Islam Keseluruhannya). Namun, di masa kini, nama Islambul diganti oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul. Sebagai bentuk penghargaan bagi Sultan Muhammad al-Fatih, dibangunlah Masjid al-Fatih yang berada tepat di sebelah makamnya.
Apa kunci kesuksesan Sultan Muhammad al-Fatih, Sang Pedang Malam? Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib dan shalat tahajud selama hidupnya, semenjak baligh. Bahkan tentaranya juga tidak pernah meninggalkan salat wajib. Maka, benarlah sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sebelum wafatnya, bahwa Konstantinopel akan takluk kepada sebaik-baik pemimpin, dan sebaik-baik tentara. Rasulullah tidak pernah berbohong dengan semua sabdanya. Masya Allah, Allahu Akbar!

Bangkitlah Pemuda, Mari Berkarya
Lalu, bagaimana dengan pemuda di masa kini? Banyakkah di antara mereka yang berkarya di usia muda, kemudian menempa mental dengan berdagang? Banyakkah di antara mereka yang sudah berani pergi ke luar negeri, dan mencetak prestasi di sana? Atau, mereka hanya bisa bergantung pada orangtua, dan menengadahkan tangan meminta uang jajan? Wallahualam.

Tapi sepertinya, masih banyak pemuda yang belum berani keluar dari zona nyamannya. Jika mereka dianugerahi lahir dari keluarga yang kaya raya, tak sedikit yang tumbuh menjadi pemuda manja. Ingin ini, ingin itu, tinggal minta. Sedikit saja di antara mereka yang berinisiatif untuk berkarya.
Sebaliknya, saat mereka terlahir dari keluarga yang kurang mampu atau dhuafa, ada yang penuh semangat menembus batas garis kemiskinan dengan beragam usaha yang halal. Namun, ada pula yang memilih menjadi perampok, penjahat, atau profesi buruk lainnya, dengan alasan yang penting dapat penghasilan untuk makan.

Padahal jelas sekali pesan Allah Subhana Wa Ta’ala melalui firman-Nya dalam al-Quran, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”(QS. ar-Ra’d [13]: 11)

Jadi, harus ada upaya untuk mengubah menjadi lebih baik. Bahkan seekor burung pun pergi pagi-pagi mengepakkan sayapnya untuk mencari makan, lalu ia kembali dengan perut kenyang. Itu tandanya, Allah akan memberi jalan bagi mereka yang mau berjuang dengan cara halal. Bukan berdiam diri, mengutuk keadaan, lalu bunuh diri dengan alasan untuk mengakhiri segala penderitaan. Naudzubillah.

Maka, bangkitlah wahai pemuda harapan bangsa! Bangkitlah pemuda untuk menegakkan agama Allah di muka bumi. Bangkitlah pemuda dengan terus memperbaiki kualitas diri. Bangkitlah pemuda dan bermanfatlah bagi sebanyak-banyaknya umat di dunia.

Oleh Cristy az-Zahra
Sumber: daaruttauhiid.org/artikel/read/cerita-santri/1120/masa-muda-masa-berkarya.html

100 Alasan Mengapa Kami Memakai Jilbab




 
Kami adalah sekelompok wanita Muslim muda. Kami sangat bergairah tentang jilbab dan bangga memakainya. Kami memulai tulisan ini untuk berbagi alasan mengapa kami mengenakan jilbab. Kami harap ini menjelaskan mengapa wanita Muslim memakainya dan mendorong banyak wanita lain untuk mengambil langkah indah ini.
Kami datang dengan lebih dari seratus alasan mengapa kami memakai jilbab. Pada artikel ini, kami hanya membagikan sepuluh diantaranya tapi anda bisa membaca daftar lengkap disini.

Mengapa jilbab?
1. Jilbab itu wajib, perintah istimewa dari Pencipta Langit dan Bumi, Allah Yang Maha Kuasa.
2. Segala sesuatu yang Dia, Yang Maha Mengetahui, memerintahkan kepada kita melakukan suatu hal sebenarnya adalah untuk keuntungan kita sendiri, bahkan jika kita tidak atau belum memahaminya. Anda mempercayai dokter dan mengikuti perintah dan resepnya bahkan saat dia memberi Anda pil pahit yang tidak Anda sukai karena Anda percaya dia dapat membantu Anda menyembuhkan sakit yang anda alami. Bagaimana kita tidak mempercayai Maha Penyembuh ketika Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu?

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Al Mulk:14)

3.Hal yang paling indah adalah mengenal Allah dengan rendah hati dan dengan ikhlas mengikuti petunjuk-Nya. Jika Anda mencintai seseorang dan orang ini menolak untuk mendengarkan Anda atau melakukan hal-hal yang Anda suka, apakah ini akan menjadi hubungan yang penuh cinta?

4. Jilbab bukan hanya tentang melindungi Anda dari laki-laki. Jilbab disebutkan di Surat An-Nur dan ini terkait dengan nama Allah, An-Nur. Jilbab adalah cahaya spiritual bagi wanita, meningkatkan dan melindungi cahaya spiritualnya. Jilbab adalah tindakan imani, inilah mengapa Allah menggunakan lafal wanita-wanita mukmin ketika Dia memerintahkannya berjilbab. Jilbab adalah tanda iman.

5. Jilbab membuat saya merasa kuat dan punya kemampuan untuk beramal. Tidak ada yang memiliki kekuasaan tubuh saya, selain saya. Saya yang memegang kendali.

6. Anda tidak perli membabi buta mengikuti masyarakat, fashion atau apa yang orang anggap cantik / modis. Anda seorang pemimpin, bukan pengikut.

7. Saat mengenakan jilbab yang tepat, orang tidak terganggu oleh penampilan saya, namun yang harus kita tampilkan adalah kecerdasan, bakat dan perkataan yang benar. Ini membantu saya dan semua orang yang berurusan dengan saya fokus pada apa yang sebenarnya penting.

8. Tubuh Anda amanah. Anda hanya tinggal di tubuh ini untuk sementara waktu, jadi Anda harus memperlakukannya seperti yang diperintahkan oleh yang memilikinya, yakni Allah. Jika Anda tinggal di hotel selama beberapa hari, dan Anda mendapat petunjuk kapan harus keluar hotel, dan kemudian Anda merusak kamar yang Anda tempati, apakah ini bisa diterima?

9. Wanita diminta berpakaian sopan dan bersikap sopan, dan pria diminta untuk menurunkan pandangan mereka dan bersikap sopan. Baik pria maupun wanita adalah bagian dari perintah ini. Mereka berdua memiliki tanggung jawab ini. Jika wanita berpakaian tidak sopan lalu berkata, ‘Oh ini kewajiban laki-laki untuk menundukkan pandangan’. Tentu tidak bisa seperti itu.
Anda juga memiliki tanggung jawab untuk berpakaian sopan. Adalah ketidakadilan wanita berpakaian sopan tapi para pria masih menggodanya dan ketidakadilan juga jika wanita berpakaian dengan tidak sopan, sehingga menggoda pria juga untuk melakukan dosa. Kita harus saling membantu satu sama lain, tidak saling merusak. Kita adalah sekutu, bukan musuh!

10. Apa yang telah saya pelajari beberapa tahun terakhir dari Islam, adalah bagaimana Allah memerintahkan kita dengan banyak tindakan yang memberi kita nilai sebagai manusia. Mengenakan jilbab dari sisi wanita, dan menundukkan pandangan dari sisi pria adalah keseimbangannya. Ini seperti mengorganisir hidup kita dengan cara yang membuatnya lebih terfokus, bermartabat dan produktif.

Ditulis Dina Mohamed Basiony
Diterjemahkan dari aboutislam.net, dengan perubahan seperlunya oleh tim redaksi muslimdaily.net

Allah Hanya Melihat Hati Dan Amal, Bukan Rupa Dan Harta



 


Hati seharusnya menjadi perhatian utama daripada lahiriyah. Karena baiknya hati, baik pula amalan lainnya. Karena hati yang bersih, amalan yang lain bisa diterima. Beda halnya jika memiliki hati yang rusak, terutama hati yang tercampur noda syirik.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).

Ibnul Qayyim berkata,”Amal hati adalah pokok, sedangkan amal badan sebagai penyerta dan penyempurna. Sesungguhnya niat itu laksana ruh, sedangkan amal laksana badan. Jika ruh meninggalkan badan, ia akan mati. Maka mempelajari hukum-hukum hati lebih penting dari pada mempelajari hukum perbuatan atau badan.” [Badai’ul Fawaid, hlm. 511]

Allah tidak akan memberi ganjaran terhadap bentuk tubuh atau rupa manusia atau banyaknya harta, karena dzat manusia (tubuh manusia) tidak dibebani hukum. Adapun yang terbebani hukum adalah perbuatan yang berkaitan dengan diri manusia. Demikian pula sifat dan bentuk yang di luar manusia, seperti: rupa, putih, tinggi, pendek dan lainnya. Allah tidak pula melihat pada banyaknya harta atau sedikitnya, kaya atau miskin dan lainnya.

Namun ada kalanya kita dapati di masyarakat kita, sering meniadakan bagian akhir dari hadist di atas. ‘ … akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”. Ini sangat penting, karena kebanyakan kaum muslimin memahami hadits di atas tanpa ada tambahan ini dengan pemahaman yang salah. Apabila Anda menyuruh mereka dengan perintah syariat yang bijaksana, seperti berjilbab, mereka akan menjawab ‘yang penting adalah hati. Buat apa berjilbab tapi suka ngerumpi dll’. Mereka berdalil dengan hadits di atas. Mereka tidak mengetahui tambahan yang shahih ini, yang menunjukkan bahwa Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi melihat juga kepada amal mereka. Bila amal baik (sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Allah akan menerimanya.

Faedah-faedah mulia dalam hadits ini diantaranya:
1. Makna hadits: bahwa Allah tidak membalas seseorang berdasarkan bentuk jasad dan tidak pula atas harta-harta yang kosong dari kebaikan. Dan itu semua tidak mendekatkan kepada-Nya. Tidak lain Allah hanya melihat kepada hati-hati yang itu tempatnya takwa dan melihat amalan-amalan kalian apakah baik atau tidak (tata caranya).

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Q.S. Al-Hujuraat: 13.

2. Bahwa suatu amalan itu teranggap dan bernilai di sisi Allah dengan niat yang ikhlash dan baik bukan dari bentuknya. Sehingga yang dihukumi adalah niat dari yang beramal. Jika niatnya ikhlash maka amalan itu amalan yang shalih. Jika niat pelaku amalan itu tidak ikhlash karena Allah maka amalannya itu rusak walaupun bentuknya adalah amalan shalih.

3. Hendaknya seseorang tidak berbangga-bangga dengan banyaknya melakukan amalan shalih namun tidak ikhlash karena itu tidak bernilai di sisi Allah. Seseorang yang berinfak dengan nilai yang sedikit disertai ikhlas itu lebih baik dari seseorang yang berinfak dengan jutaan atau milyaran rupiah namun itu karena riya’. Sebab, yang pertama tercatat sebagai amalan shalih dan memberatkan timbangan amal pelakunya sedangkan yang kedua tidak.

4. Kecantikan itu ada dua: yang zhahir (tampak) dan bathin (tersembunyi). Kecantikan batin seperti keimanan, ketakwaan, ilmu, akal yang sehat, kedermawanan, akhlak yang mulia. Inilah yang dilihat oleh Allah dan yang dicintai-Nya. Sehingga keindahan batin itu lebih baik dari keindahan zhahir.

5. Keindahan zhahir seperti harta dan jasmani itu tidak bernilai dan tidak dilihat oleh Allah kecuali jika digunakan di dalam ketaatan kepada-Nya.

6. Seorang mukmin yang memiliki kecantikan yang batiniah akan memiliki wibawa dan disenangi manusia sesuai dengan kadar keimanannya. Barangsiapa yang melihatnya akan mencintai dan segan kepadanya walaupun ia berkulit hitam dan tidak tampan atau cantik secara fisik. Dan ini hal yang kita saksikan di lingkungan kita.
Dan sebaliknya jika seseorang memiliki keindahan lahiriah namun berakhlak jelek, pelaku kemaksiatan, dan hal-hal yang terlarang, maka akan dibenci dan tidak memiliki kewibawaan di hadapan orang mukmin.

7. Jika tempat takwa itu di hati maka tidak ada yang bisa menelaahnya kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Orang yang menampakkan ketakwaaan secara zhahirnya maka itu yang kita hukumi. Adapun niatnya maka itu antara dirinya dengan Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi segala sesuatu.

8. Sesungguhnya takwa jika telah ada di hati seseorang maka akan tampak buahnya di amalan anggota badannya dengan ia istiqamah dan meninggalkan kemaksiatan. Dan seorang mukmin yang Allah terangi hatinya dengan iman akan tampak cahaya iman di wajahnya dan akan dikenakan rasa cinta dan wibawa di hadapan manusia.

9. Di dalam hadits terkandung itsbat (penetapan) sifat nazhar(melihat) bagi Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sama dengan pandangan makhluk.

10. Jika Allah tidak melihat kepada bentuk jasad dan harta seseorang lalu bagaimana kita mengutamakan seseorang dengan sesuatu yang Allah tidak mengutamakannya dengan hal itu? Seperti mengutamakan orang kaya yang fasik dari orang miskin yang shalih. Maka seharusnya kita melihat dan menilai seseorang sebagaimana yang Allah lihat pada seseorang itu yaitu kebaikan amalan-amalan mereka.

11. Keindahan jasad, pakaian, dan penampilan itu ada 3 macam:
· Yang terpuji, yaitu yang diperuntukkan bagi Allah untuk menolong kepada ketaatan kepada-Nya, menunaikan perintah-perintah-Nya dan menjawab seruan-Nya. Sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dahulunya berhias untuk menemui utusan-utusan yang datang kepadanya. Juga berpakaian yang baik di hadapan musuh untuk menunjukkan wibawa kaum muslimin, berbusana yang indah dan harum ketika menghadiri shalat, dan yang semisalnya yang di dalamnya terkandung peninggian kalimat Allah, menolong agama-Nya, dan membuat marah musuh-musuh-Nya.
· Yang tercela, yaitu yang digunakan untuk dunia, kepemimpinan, berbangga-bangga, sombong, dan mengantarkan kepada syahwatnya serta ia menjadikan itu puncak keinginan dan tujuannya.
· Yang tidak terkait dengan pujian dan celaan, yaitu yang lepas dari dua niat dan dua sifat yang tersebut di atas.

https://almanhaj.or.id/2976-i-k-h-l-a-s.html
https://rumaysho.com/3373-perhatikanlah-hatimu.html
http://ahlussunnah-prambanan.blogspot.co.id/2011/06/allah-hanya-melihat-hati-dan-amalan.html
http://www.tarbiyah.in/index.php?option=com_content&view=article&id=1446:inilah-maksud-hadits-sesungguhnya-allah-tidak-melihat-pada-jasadbentukrupa-kalian-tapi-allah-melihat-pada-hati-kalian-apabila-hanya-hati-yang-diutamakan-maka-tidak-perlu-bersusah-payah-menunaikan-shalat-5-waktu-shaum-zakat-hajidll&catid=23:hadits&Itemid=98

Tidak Boleh Menjadikan Agama Sebagai Bahan Candaan dan Lawakan



 
Terdapat peringatan dalam agama kita yang melarang seseorang membuat suatu lawakan atau candaan dengan menceritakan suatu hal yang isinya dusta atau berbohong, dalam rangka membuat manusia tertawa. Peringatannya cukup keras.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻭَﻳْﻞٌ ﻟِﻠَّﺬِﻯ ﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﻓَﻴَﻜْﺬِﺏُ ﻟِﻴُﻀْﺤِﻚَ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﻭَﻳْﻞٌ ﻟَﻪُ ﻭَﻳْﻞٌ ﻟَﻪُ

“Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia .”[ HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 3315]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa dusta tidak diperbolehkan baik dalam hal serius maupun bercanda, Beliau menukilkan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

ﺇﻥ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻻ ﻳﺼﻠﺢ ﻓﻲ ﺟﺪ ﻭﻻ ﻫﺰﻝ

“Sesungguhnya berdusta tidak boleh baik dalam keadaan serius maupun bercanda”[Majmu’ Fatawa 32/255-256]

Beliau menjelaskan lagi bahwa hukumannya lebih berat jika sampai menimbulkan permusuhan dan persengketaan di antara manusia bahkan menimbulkan bahaya bagi agama. Beliau berkata,
ﻭﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻋﺪﻭﺍﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ ﻭﺿﺮﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ؛ ﻓﻬﻮ ﺃﺷﺪ ﺗﺤﺮﻳﻤﺎ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ . ﻭﺑﻜﻞ ﺣﺎﻝ : ﻓﻔﺎﻋﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺴﺘﺤﻖ ﻟﻠﻌﻘﻮﺑﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺮﺩﻋﻪ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ
“Apabila hal tersebut (dusta) menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin dan menimbulkan madharat bagi agama, maka ini lebih terlarang lagi. Pelakunya harus mendapatkan hukuman syar’i yang bisa membuatnya jera.”[Majmu’ Fatawa 32/255-256]

Ini menjadi peringatan bagi para komedian, aktivis stand-up comedy dan para pelawak agar hendaknya berhati-hati dan kita doakan kebaikan kepada mereka agar meninggalkan hal ini. Terlebih-lebih terlalu banyak tertawa bisa mematikan hati dan mengeraskan hati karena kebahagiaan sejati bukan dengan terlalu sering tertawa bahkan berlebihan sampai terbahak-bahak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻻَ ﺗُﻜْﺜِﺮُ ﺍﻟﻀَّﺤَﻚَ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛَﺜْﺮَﺓَ ﺍﻟﻀَّﺤَﻚِ ﺗُﻤِﻴْﺖُ ﺍﻟﻘَﻠْﺐَ

“Janganlah terlalu banyak tertawa karena banyak tertawa bisa mematikan hati.”[Shahih Al Jami’ no. 7435]

Larangan menjadikan agama sebagai bahan candaan, lawakan dan olok-olok
Hal ini sangat keras peringatannya. Allah berfirman,

ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ۚ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya BERSENDA GURAU dan BERMAIN-MAIN saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu BEROLOK-OLOK?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66]

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa hukumnya sangat berat yaitu bisa keluar dari agama Islam. Beliau berkata,
‏ فإن الاستهزاء باللّه وآياته ورسوله كفر مخرج عن الدين لأن أصل الدين مبني على تعظيم اللّه، وتعظيم دينه ورسله
“Mengolok-olok dalam agama, ayat Al-Quran dan Rasul-Nya termasuk kekafiran yang bisa mengeluarkam dari Islam, karena agama ini dibangun di atas pengagungan kepada Allah, agama dan Rasul-Nya.”[Tafsir As-Sa’diy]

Karena memang agama ini adalah suatu yang mulia dan sangat tidak layak jika digunakan untuk jadi bahan candaan atau lawakan. Ingatkah kita ada aturan di bandara, “Bagi yang bercanda membawa bom di bandara, bisa terkena pasal hukuman pidana”. Jika urusan dunia seperti ini saja tidak boleh, tentu urusan agama lebih tidak boleh lagi.

Perlu diperhatikan juga bahwa menjadikan agama sebagai candaan atau mem-plesetkan istilah-istilah agama adalah kebiasaan orang Yahudi, sebagaimana Allah berfirman,

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺭَﺍﻋِﻨَﺎ ﻭَﻗُﻮﻟُﻮﺍ ﺍﻧﻈُﺮْﻧَﺎ ﻭَﺍﺳْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. [Al-Baqarah/2:104].

Raa’ina berarti “Sudilah engkau memperhatikan kami”. Yaitu kebiasaan para sahabat ketika berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yahudi mem-plesetkan menjadi “Ru’unah” yang artinya sangat dungu atau sangat tolol. Allah memerintahkan sahabat menggantinya dengan perkataan “undzurna” yang maknanya sama.
Semoga kita dijauhkan dari hal seperti ini.

Oleh dr. Raehanul Bahraen
Sumber: Muslim.or.id

Al Qur’an Dan Sunnah Landasan Utama Berislam



Seandainya kita dipanggil oleh atasan dan disuruh untuk bersiap-siap pergi ke Jakarta pada esok hari, apa yang kira-kira akan kita lakukan? Padahal jaraknya jauh dan kita belum pernah pergi ke sana. Yang pertama tentunya kita akan mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya. Kita akan menyiapkan semua hal yang mungkin dibutuhkan selama perjalanan seperti makanan, pakaian, bahkan mungkin juga obat-obatan.

Selain menyiapkan perbekalan, karena Jakarta adalah tempat yang belum pernah kita datangi sebelumnya, pastinya kita akan mencari tahu bagaimana dan seperti apa Jakarta itu. Selanjutnya, yang dilakukan adalah bertanya tentang rute perjalanan agar tidak tersesat saat perjalanan. Bisa dengan bertanya kepada orang yang pernah pergi ke sana, bisa juga dengan melihat rute perjalanan di peta, atau menggunakan alat bantu modern seperti GPS. Tentunya, agar kita sampai dengan selamat ke tempat tujuan.

Hidup ini adalah perjalanan, perjalanan menuju kehidupan yang hakiki yakni kehidupan di akhirat. Karena hidup ini adalah sebuah perjalanan, kita membutuhkan bekal yang cukup untuk dibawa ke tempat tujuan kita, yakni kampung akhirat yang abadi. Jika hanya perjalanan ke Jakarta saja kita membutuhkan bekal, maka kita tentu lebih butuh bekal untuk dibawa menuju hadapan Allah Ta’ala. Dan tidak ada bekal yang lebih baik untuk kita bawa menuju akhirat, selain dari pada keimanan, ketakwaan, dan amal shalih yang kita punya.

Selain bekal, kita juga membutuhkan ‘alat bantu’ yang bisa kita pakai sebagai pedoman dan penunjuk arah agar tidak tersesat selama perjalanan. Kalau kita akan mengadakan perjalanan menuju Jakarta, alat navigasinya adalah peta atau GPS. Maka untuk perjalanan menuju akhirat, Allah dan rasul-Nya telah memberikan kita pedoman supaya kita tidak tersesat selama menempuh perjalanan.
 Sebagaimana yang tersebut dalam sebuah hadist,

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

“Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; (yakni) Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik).

Dalam hadist di atas, Rasulullah mengingatkan kita bahwa ada dua hal sepeninggal beliau yang harus selalu kita jaga, sekaligus kita jadikan pedoman hidup, serta kita amalkan agar kita tidak termasuk golongan yang tersesat dari jalan kebenaran. Dua hal tadi adalah tolok ukur bagi ‘lurusnya’ seseorang atau sebuah kelompok. Karenanya, berpegang teguh terhadap keduanya merupakan salah satu ciri mereka yang benar-benar mencintai Allah dan rasul-Nya.

Qur’an dan Sunnah tolok ukur kebenaran
Hari ini kita dihadapkan pada fenomena perpecahan dalam tubuh umat Islam. Dan Rasulullah jauh-jauh hari telah mengingatkan kita tentang fenomena ini. Bahwa kelak sepeninggal beliau akan terjadi banyak perselisihan dan juga pertentangan, bahkan di antara sesama muslim. Banyak kelompok mengaku paling islami dan paling sesuai sunnah. Banyak juga yang mengaku paling mencintai Allah dan paling mencintai Rasulullah. Yang membuat kita sedih, tidak jarang kelompok-kelompok tadi mengklaim bahwa kebenaran hanya milik mereka. Bahkan, tak segan-segan memberikan vonis dan cap negatif serta mencela kelompok lainya yang dianggap tidak sesuai dengan kehendaknya.

Kita harus ingat wasiat Rasulullah dalam hadist di atas. Beliau mengingatkan bahwa harus ada dua hal yang harus selalu dijaga agar kita termasuk golongan yang berada pada jalan yang lurus, yakni Al-Qur’an dan Sunnah (hadist) Rasulullah. Ini juga yang menjadi tolok ukur kebenaran seseorang dan sebuah kelompok. Jika amal yang dikerjakan oleh seseorang sesuai dengan dua hal tadi, bisa dipastikan orang tersebut selamat dan tidak termasuk golongan yang tersesat. Sama halnya dengan aktifitas dan kebijakan-kebijakan yang dikerjakan oleh sebuah kelompok, jika sesuai dan dilandasi dengan Al-Qur’an dan sunnah, bisa dikatakan kelompok tersebut berada dalam jalur ‘kebenaran’.

Begitu juga sebaliknya, jika seseorang atau sebuah kelompok justru melakukan hal-hal yang dilarang oleh Al-Qur’an dan hadist, maka mereka bisa dikatakan sebagai kelompok yang menyimpang, meskipun mereka mengaku paling benar dan paling baik. Karena, pengakuan tanpa bukti hanyalah omong kosong belaka. Bagaimana mungkin mengklaim diri dan kelompoknya paling benar, padahal ia justru melanggar perintah Allah yang ada dalam Al-Qur’an. Mustahil juga seseorang mengaku paling mencintai Rasul, padahal ia tidak pernah berusaha untuk menjalankan apa yang diajarkan oleh Rasulullah dalam hadist-hadist beliau sama sekali.

Kenapa harus Qur’an dan Sunnah?
Kenapa Al-Qur’an dan Sunnah harus kita jadikan pegangan? Kenapa juga keduanya merupakan tolok ukur kebenaran sesorang dan sebuah kelompok? Karena jelas, bahwa Al-Qur’an dan hadis Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam merupakan sumber ajaran Islam sekaligus pedoman hidup setiap muslim yang mesti dipegang dengan kuat. Karena dalam agama Islam, Al-Qur’an adalah sumber utamanya. Sedangkan, hadits adalah sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an.

Al-Qur’an harus kita utamakan karena ia merupakan wahyu dari Allah, Rabb semesta alam yang diturunkan kepada rasul-Nya dan berlaku untuk semua manusia tanpa terkecuali. Kebenaran dan kesuciannya terjaga, karena terbukti lebih dari 1400 tahun sejak ia diturunkan, tidak ada perubahan yang terjadi padanya, tidak seperti kitab-kitab suci lain yang telah mengalami banyak penyelewengan. Sejak Al-Qur’an diturunkan, Allah menantang manusia untuk mendatangkan yang semisal dengannya, namun hingga lebih dari empat belas abad lamanya, tidak ada yang mampu menjawab tantangan tersebut. Dan yang menakjubkan, kandungan didalamnya sangat akurat dan sesuai dengan pembuktian ilmu pengetahuan dan teknologi modern

Al-Qur’an diturunkan agar semua manusia menjadikannya pedoman dan pegangan hidup. Di dalamnya berisi berbagai macam hal yang jika dibaca dan dipelajari, akan menjadi penerang dan cahaya bagi kehidupan. Isi dan kandungan Al-Qur’an semakin menambah keyakinan dan keimanan kita akan kebenarannya dan keagungan serta keesaan Pencipta-Nya. Karenanya, Allah berfirman, “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (al-Baqarah: 2)

Adapun Sunnah (hadist) Rasulullah, maka ia adalah praktik riil kehidupan Nabi Muhammad sehari-hari. Di dalamnya berisi perkataan, perbuatan, pembenaran, dan sifat-sifat beliau yang penuh hikmah dan makna yang harus dijadikan pelajaran dan tuntunan oleh semua umat muslim. Selain itu, hadist adalah penguat sekaligus penjelas bagi Al-Qur’an. Hal-hal yang masih samar dan umum dalam Al-Qur’an dijelaskan perinciannya dalam hadist-hadist nabi. Kita tidak akan pernah bisa mempraktikkan Islam dengan sempurna kecuali memadukan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan yang tercantum dalam hadist-hadist Rasulullah. Jangan sampai kita meniru mereka yang mengambil Al-Qur’an, namun tidak mau menerima sunnah (hadist) Rasulullah. Allah Ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr : 7)

Oleh Yunalul Murod dalam Majalah An-Nuur Vol.52
Diambil dari: annursolo.com/quran-dan-sunnah-landasan-utama/
sr : islampos

Kamis, 12 April 2018

Jomblo Sebagai Bukti Keimanan Seorang Remaja

Jomblo Sebagai Bukti Keimanan Seorang Remaja


Menurut sebagian besar, khususnya di kalangan remaja, jomblo adalah status seseorang yang menunjukkan pribadi kuper, gak gaul, ketinggalan jaman, katrok, ndeso atau kampungan. Ada lagi yang sering kali jadi julukan, bahwa seorang yang jomblo adalah makhluk yang tidak laku.
Seseorang dikatakan tidak jomblo ketika dia memiliki pacar. Padahal status pacar dan jomblo itu sekedar status sosial dalam kehidupan gaul remaja. Jadi, mereka yang memiliki pacar merasa gaul dan merasa selamat dari status jomblo. Mereka yang berstatus jomblo dianggap suatu aib dalam pergaulannya.

Karena pacar sekedar status sosial kehidupan gaul remaja, maka berpacaran hanya dijadikan kebanggaan dalam pergaulan mereka, sama sekali tidak ada niat untuk melanjutkan ke jenjang bahtera rumah tangga. Alasan mereka yang sekedar berpacaran karena mereka masih di bawah umur. Jadi, ngapain make meried segala? Begitu alasan yang sering kali kita dengar.

Kebanggaan itu terasa ketika mereka berkumpul dengan teman-temannya, jalan-jalan berdua, dan saat galau ada yang menamani. Ketika berkumpul dengan teman-temanya, mereka sangat bangga karena di sampingnya ada seorang pacar, apa lagi teman-temannya bersama pacarnya. Ketika berjalan –ke mana aja– bisa boncengan, bisa gandengan, dan bisa makan berduaan di restoran atau warung. Ketika galau tidak lagi bingung harus mengadu pada siapa, bisa langsung minta ditemenin pacarnya.
Mungkin itu aktifitas pacaran yang standart. Ada aktifitas pacaran yang lebih dari itu. Dalam kehidupan gaul remaja, selain pacaran sebagai status pribadi, pacaran juga sebagai hiburan sehari-hari yang dipenuhi aktifitas pelampiasan hasrat syahwat. Sekarang marak kelakuan mesum, seks bebas, dan hamil di luar nikah, itu semua terjadi karena status konyol itu (pacaran). Bahkan ada yang menganggap, jika masih belum pegangan, ciuman, dan pelukan, itu dianggap sebagai aib dalam kehidupan gaul mereka. Lebih parah lagi, jika masih perawan atau perjaka pun dianggap ketinggalan jaman. Na’udzubillah…

Jika seorang remaja tidak memiliki pacar, siapa saja pasti yakin, dia tidak akan pernah berduaan, saling memandang penuh hasrat, pegangan, merapat, pelukan, ciuman, meraba-raba, apa lagi melakukan ‘hal itu’. Begitulah gambaran mulia seorang jomblo; dia tidak pernah berduan dengan lawan jenis, yang pada ujungnya akan sampai pada aktiftas… (gituan itu). Nau’udzubillah.

Jomblo itu bukan berarti dia kuper, ndeso, gak gaul, ketinggalan jaman, apalagi tidak laku atau tidak pernah jatuh cinta. Seseorang jomblo itu memiliki beberapa alasan, diantaranya: Pertama, karena sibuk dengan aktifitasnya, baik profesi atau pun pendidikan. Kedua, karena menutup hati sebab dia sudah mencintai seseorang meskipun tidak mungkin dimilikinya. Ketiga,karena pacaran dianggap sesuatu yang tidak bermanfaat. Keempat, karena mempertahankan reputasi yang seandainya dia berpancaran makan nama baik dia akan tercemar. Kelima, karena bingung menentukan pilihan, sehingga dia memilih jomblo. Keenam, karena tidak memiliki nyali untuk mengungkapkan perasaannya.  Ketujuh, karena trauma sebab tembakan pertama ditolak. Kedelapan, karena dia menganggap bahwa dengan tidak pacaran dia akan mendapatkan jodoh yang tidak pernah pacaran juga (baik). Kesembilan, karena semata-mata ingin menjaga kesucian dirinya (keimanannya).
Selain alasan-alasan di atas, jomblo juga memiliki nilai mulia bagi seorang remaja. Karena dengan status jomblo dia akan terhindar dari perbuatan yang tidak bermoral, sebagaimana yang marak saat ini. Artinya, pacaran itu lebih rawan mengantarkan seseorang kepada maksiat dan Jomblo (pasti) membuat seseorang lebih terjaga dari perbuatan yang dilarang agama. Tepatnya, sebenaryna jomblo merupakan salah satu upaya menjaga diri untuk tidak menuruti hawa nafsu. Uapaya tersebut adalah cirri-ciri orang yang beriman. Allah berfiman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُواْ فُرُوجَهُمْ ذالِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُن… (31)

 “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”  Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. (QS. An-Nur: 30-31)

Ayat di atas menjelaskan tentang keimanan seseorang. Jika dia beriman, seharusnya dia menahan pandangannya agar tidak menjurus pada perbuatan hasrat syahwat. Salah satu upaya yang jitu untuk menahan pandangan adalah jomblo. Karena jomblo lebih aman dari perbuatan hasrat syahwat. Namanya juga jomblo, makhluk yang selalu sendirian. Orang yang sendirian memang mau melakukan ‘hal itu atau gituan’ dengan siapa? hehehe… Jadi, seorang yang jomblo termasuk seseorang yang beriman yang secara otomatis dia menahan pandangannya, dan tentu tidak ada kesempatan untuk melakukan perbuatan menuruti hasrat syahwat.

sumber :  (http://cyberdakwah.com)